Tingkat perjumpaan dengan orang utan telah jatuh enam kali lipat di Borneo selama 150 tahun ini, menurut laporan tulisan para peneliti dalam jurnal PLoS One.
Erik Meijaard, seorang ekologis dengan Nature Consulting International, dan rekan-rekannya membandingkan tingkat perjumpaan dengan tingkat-tingkat sebelumnya dari naturalis yang bekerja di pertengahan abad ke-19. Mereka menemukan bahwa orang utan jauh lebih jarang saat ini, bahkan di daerah hutan asli.
"Padahal beberapa penjelajah awal dulu akan melihat sebanyak enam orang utan di satu pohon atau bertemu dengan tiga lusin di sepanjang sungai dalam satu hari, sekarang, di hutan yang sama, jarang ditemui seekor orang utan di alam liar," ujar Meijaard pada mongabay.com via email.
|
Orang utan Sumatera. |
Hasil ini memperkirakan bahwa perburuan mengorbankan populasi orang utan.
"Wawancara atas hampir 7000 penduduk di Kalimantan [wilayah Indonesia di Borneo] baru-baru ini mengungkap bahwa lebih dari ribuan orang utan masih dibunuh setiap tahunnya oleh penduduk setempat, yang lebih dari 50% adalah untuk makanan," katanya.
Meijaard dan rekan penulisnya menggarisbawahi beberapa faktor yang mungkin telah mengakibatkan peningkatan perburuan di Borneo, termasuk salah satu yang khususnya aneh di bagian utara Borneo: pelarangan perburuan kepala oleh pemimpin kolonial di Malaysia.
"Masih tidak jelas kenapa tekanan perburuan meningkat di Sabah bagian barat beberapa ratus tahun yang lalu. Waktunya sesuai dengan perkiraan berakhirnya perburuan-kepala di Borneo, yang membuat sebagian besar bagian pulau tersebut terlalu berbahaya untuk dikunjungi," tulis penulisnya. "Banks menyimpulkan bahwa perburuan-kepala menyediakan perlindungan bagi kehidupan liar, karena sebagian besar wilayah hutan dihindari oleh pemburu yang takut bertemu dengan kelompok pemburu kepala yang sedang menjelajah. Dia mencatat bahwa, segera setelah pelarangan kolonial atas perburuan-kepala diterapkan, banyak wilayah hutan menjadi lebih aman untuk dilewati, memungkinkan para pemburu untuk masuk lebih jauh dari desanya... Juga, diperkirakan kepala orang utan menggantikan kepala manusia sebagai trofi, yang mungkin juga menambahkan tekanan perburuan atas orang utan."
|
Orang utan Borneo
|
Melihat data dari Indonesia Borneo, para peneliti menemukan korelasi antara kepadatan orang utan dan jarak dari pedesaan: semakin terpencil suatu daerah hutan, memiliki lebih banyak orang utan.
Para penulis menuliskan bahwa penyakit yang dikenalkan bisa juga menjadi faktor dalam penurunan populasi orang utan yang nyata ini, namun dicatat bahwa tidak ada bukti hingga saat ini atas wabah pada orang utan.
Bahaya bergesernya garis dasar
Penemuan bahwa kepadatan orang utan dulunya amat tinggi membawa para penulis untuk memperingatkan bahwa tingkat pemahaman saat ini atas kera merah ini dapat terbiaskan oleh skenario "pergeseran garis dasar": situasi di mana kondisi yang menurun saat ini diasumsikan sebagai representasi dari kondisi di masa lalu.
"Pengetahuan dari penelitian kami membuat kami sadar seberapa banyak garis dasar populasi telah bergeser," Mijaar mengatakan pada mongabay.com via email. "Mungkin ada setengah juta orang utan 150 tahun yang lalu, dan sebelumnya mungkin lebih."
"Para peneliti telah mempelajari mengenai orang utan dengan meneliti mereka dengan kondisi dan kepadatan saat ini, namun ini mungkin lebih seperti meneliti bosmen di Kalahari untuk mengerti perilaku orang-orang New York."
Dengan kata lain, semua yang kita pikir kita tahu tentang orang utan mungkin berdasar pada pengetahuan yang tidak lengkap.
"Jika ide kita ternyata benar, mungkin ini akan mengubah secara keseluruhan pemahaman kita tentang pengembangbiakan, interaksi antar seks, kebiasaan makan, dan cara berkeliarannya," ujarnya, menambahkan bahwa para ahli konservasi perlu untuk mempertimbangkan masalah ini dalam strategi mereka untuk melindungi orang utan, yang saat ini berkisar 50.000 populasi di Sumatera dan Borneo.
|
Kalimantan, 2006
Kalimantan, 2009
|
"Konservasi tidak akan mengembalikan kita pada setengah juta orang utan seperti di jaman Wallace [Alfred Wallace, ahli biologi abad ke-19], namun apa seharusnya target kita?"
Meijaard mengatakan bahwa peneliti juga menggarisbawahi pentingnya untuk mengatasi dengan lebih efektif perburuan ini sebagai ancaman utama terhadap orang utan.
"Penelitian ini dan satu lagi yang masih perlu kami publikasikan lebih banyak mengindikasikan bahwa perburuan oleh penduduk setempat telah dan masih menjadi ancaman besar bagi orang utan di Kalimantan. Namun, tak ada satu program pun untuk mengatasi masalah tersebut. Kenapa? Apakah terlalu sensitif untuk menyalahkan Dayak yang kasihan itu? Atau terlalu sulit? Yang manapun alasannya, jelas bahwa kecuali jika kita dapat mengatasi perburuan, hampir semua orang utan Kalimantan yang berada di luar daerah yang dilindungi akan menemui ajalnya."